- multiusaha kehutanan dapat diterapkan dalam dua kawasan hutan, yakni hutan lindung dan hutan produksi, yang tetap menjunjung tinggi asas kelestarian.
envira.id, Jakarta—Multiusaha Kehutanan diyakini memiliki peran dalam upaya mencapai Enhanced Nationally Determined Contributions (NDC) dan pemenuhan target Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, yang saat ini sudah masuk fase operasional. Lebih penting lagi, Multiusaha Kehutanan juga dipandang sebagai inovasi dalam praktik pengelolaan hutan lestari serta sebagai aksi mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan di Indonesia.
“Ini momentum paling penting untuk Indonesia,” Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim, Sarwono Kusumaatmadja dalam diskusi Pojok Iklim, Rabu (15/2).
Sebagai mitigasi terhadap perubahan iklim, multiusaha kehutanan memiliki pengaruh langsung terhadap pengurangan emisi, serta peningkatan serapan karbon dan konservasi cadangan karbon. Oleh karena itu, kebijakan multiusaha kehutanan dinilai dapat mengoptimalkan pemanfaatan areal dalam kawasan hutan yang menjunjung tinggi asas kelestarian.
Sebagai informasi, karena Indonesia rentan terhadap risiko iklim, negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati ini melengkapi diri dengan komitmen adaptasi terhadap perubahan iklim untuk mencapai masyarakat dan ekosistem yang tahan terhadap risiko dan dampak perubahan iklim pada tahun 2030. Komitmen ini diperkuat dalam Updated NDC, di mana ambisi adaptasi ditingkatkan melalui program, strategi, dan aksi yang bertujuan untuk mencapai ketahanan ekonomi, sosial, dan mata pencarian, serta ekosistem dan lanskap.
Indonesia telah berkomitmen untuk mengatasi perubahan iklim sejak Konferensi Para Pihak (COP) ke-15 pada tahun 2009 dengan janji Intended NDC untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26% (dengan upaya sendiri) dan sebesar 41% (jika menerima bantuan internasional) pada tahun 2020. Komitmen Indonesia diperkuat melalui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) pertama pada November 2016.
Dilanjutkan Sarwono, multiusaha kehutanan dapat diterapkan dalam dua kawasan hutan, yakni hutan lindung dan hutan produksi. Di kawasan hutan lindung, multiusaha kehutanan dapat diterapkan dalam berbagai kegiatan, yakni pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan kayu. Sedangkan, dalam kawasan hutan produksi dapat dilakukan melalui kegiatan, pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan pemungutan hasil bukan kayu.
Menurut Sarwono, sebagai amanat Undang-Undang Cipta Kerja, multiusaha kehutanan dapat diterapkan oleh pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dalam rangka meningkatkan aktivitas bisnis perusahaan di dalam kawasan hutan.
Sementara, Direktur Pengendalian Usaha Pemanfaatan Hutan, Khairi Wenda mengatakan, multiusaha kehutanan memiliki beberapa poin besar yang salah satunya adalah peningkatan penutupan lahan yang berfungsi dalam pencapaian Indonesia’s FOLU Net Sink 2030. PBPH yang diberikan tidak hanya berorientasi pada kayu, namun harus dapat mengoptimalkan seluruh potensi kehutanan. “Termasuk pemanfaatan jasa lingkungan hingga hasil hutan bukan kayu,” tegas Wenda. []
Penulis: Ahmadi Supriyanto