- Penjualan kosmetik dan perawatan kulit makin kinclong, tapi limbah yang dihasilkan cukup memprihatinkan: 50% sampah plastik berasal dari wadah kosmetik.
envira.id, Jakarta — Cantik dambaan setiap orang. Tampil menawan saat ini bukan hanya milik wanita, bahkan pria banyak yang menggunakan produk perawatan kulit (skincare). Data Jakpat (2021) menyebut, ada 37% laki-laki dan 72% perempuan menggunakan pembersih wajah.
Maka, tidak mengherankan jika saat ini pasar kosmetik, khususnya pembersih kulit, tumbuh amat subur. Mereka tidak hanya mengejar pasar perempuan, tetapi juga pria. Pagebluk Covid-19 bukannya menurunkan minat orang merawat kecantikan, sebaliknya justru berkembang pesat. Lihat saja survei yang dirilis Inventure-Alvara pada tahun 2021 lalu. Pengguna rutin produk skincare lebih banyak, yakni sebesar 54,9% dibandingkan yang tidak rutin menggunakannya, 45,1%.
Dari fakta ini tidak mengherankan kalau prospek produk skincare bakal makin cemerlang ke depannya. Paling tidak, laporan Stasita menguatkan asumsi itu. Nilai pendapatan di industri ini secara global pada 2020 mencapai USD7 miliar, setara Rp104,81 triliun (kurs Rp14.900).
Di tahun 2023 ini pendapatan ini diperkirakan bakal mencapai USD8,6 miliar. Tahun berikutnya tumbuh lagi 5,64% menjadi USD9,07 miliar dan diprediksi bakal menyentuh USD9,58 miliar pada 2025. Uniknya, pertumbuhan skincare selalu lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi.
Tapi di balik angka-angka statistik moncer itu, tersimpan bahaya mengerikan. Tren kosmetik dan skincare pada tataran global dan di Indonesia ternyata memberikan dampak buruk bagi lingkungan. Lyfe with Less Indonesia menyebut, 50% sampah di Indonesia disumbang dari bekas produk kecantikan, seperti kosmetik, skincare dan sejenisnya. Zero Waste Week Research juga pernah mengatakan, 50% sampah plastik berasal dari wadah kosmetik.
Seperti disampaikan Lyfe with Less Indonesia, 120 miliar kosmetik diproduksi seluruh dunia. Itu artinya, semakin banyak kosmetik diproduksi, semakin tinggi timbulan sampah plastik. Rumitnya lagi, dari jumlah produk kosmetik yang mencapai ratusan miliar kemasan itu, 79% berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA), 12 dibakar, dan hanya 9% yang didaur ulang. Dalam banyak kasus, pembeli tidak benar-benar memahami apa yang dibeli, sehingga tidak sedikit yang membuangnya sebelum dipakai.
Problemnya, selain membuang sisa kosmetik sebuah tindakan sia-sia dan mubazir, ada zat berbahaya yang terkandung di dalamnya. seperti triclosan beracun pada alga, phenylenediamine (Ppd) pada lipstik meracuni dan membunuh makhluk air, dibutyl phthalate (Dbp) pada kutek juga membunuh makhluk air terutama plankton. Bahaya ini bukan isapan jempol.
Minderoo Foundation mengingatkan, jika tidak ada tindakan apapun untuk mengatasi ini, maka aliran plastik ke laut akan tiga kali lipas di tahun 20240. Artinya ada 29 uta metrik ton atau setara 50 kilogram plastik meter yang tersebar di pantai seluruh Indonesia.
Selain berbahaya untuk lingkungan, sampah skincare berpotensi digunakan untuk skincare palsu. Skincare palsu yang terbeli akan menyebabkan ganguang serius bagi pemakainya, seperti iritasi, alergi, dan flek hitam pada wajah. Ini tentu kontraproduktif dengan apa yang ingin dihasilkan. Maksud hati ingin glowing yang terjadi justru wajah menjadi rusak.
Tapi, penyakit yang paling ditakutkan adalah memicu perkembangan sel kanker. Skincare palsu mengandung merkuri dan arsen. Keduanya dapat memicu perkembangan sel kanker pada kulit. Arsen biasanya terdapat dalam bedak dan lipstik. Zat pewarna ini dapat memicu kanker kulit di bagian bibir.
Pemerintah sendiri sebenarnya sudah memerhatikan masalah ini. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Permen tersebut antara lain mewajibkan produsen meminimalkan volume sampah baik dari produk maupun dari kemasan produk yang mereka jual. []
Penulis: Ahmadi Supriyanto