“Bu bantu sekolah kami, TK B diedukasi tentang daur ulang sampah, kami mau menjalankan kurikulum Merdeka. Kami pilih tentang sampah karena dekat dengan keseharian kami.”
“Bu, tolong bantu sekolah kami, SD C untuk diedukasi tentang daur ulang sampah ya Bu agar kami bisa Kelola sampah di sekolah?”
“Bu, mohon dibantu sekolah kami SMP A untuk diedukasi tentang daur ulang sampah? Kami ingin Kelola sampah mandiri di sekolah?”
“Bu Bisa nggak bantu komunitas kami mendaur ulang sampah? Kami ingin berkontribusi dalam pengelolaan sampah berbasis komunitas. “
Empat permintaan edukasi Kelola sampah tersebut masuk ke WA saya, sehari setelah saya menjadi pemateri pada kegiatan Trainer of Trainer (ToT) pengelolaan sampah kepada para guru di Tangerang Selatan pada 21 Februari 2024 lalu. ToT tersebut dilakukan dalam rangka memperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN).
Permintaan edukasi itu semuanya senada, meminta edukasi daur ulang. Mengapa daur ulang lebih memasyarakat dibandingkan reduce dan reuse? Apakah edukasi pengelolaan sampah harus dimulai dari daur ulang?
Mengacu pada Global Waste Management Outlook (2015), pengelolaan sampah digambarkan secara hierarki dengan gambar piramida terbalik. Pencegahan dan meminimalisasir terjadinya sampah diletakkan paling awal dengan area cakupan lebih luas, diikuti dengan reuse atau penggunaaan kembali.
Pada tahap ini, kita diminta melakukan pencegahan, meminimalisir (reduce) terjadinya sampah dan penggunaan kemasan/wadah secara berulang. Cakupan kegiatan pencegahan, reduce dan reuse ini begitu luas. Setiap orang bisa melakukannya dan jika itu dilakukan dapat berpotensi mencegah timbulan sampah.
Pada tahap pencegahan, kita bisa mencegah munculnya sampah. Pencegahan ini bisa dilakukan dengan konsep reduce (mengurangi sampah) Contohnya, tidak meminta bon dalam kertas, tetapi bisa diganti dengan e-bill yang dikirim via WA. Tidak mencetak tiket pesawat/kereta/bus, tapi diganti dengan e-tiket.
Cara lainnya adalah tidak menggunakan tisu, tapi menggantinya dengan sapu tangan, tidak mencetak struk di ATM atau tempat parkir, cukup dengan e-tiket, tidak berbelanja barang/bahan/makanan yang tak perlu atau berlebihan. Jika setiap orang melakukan tindakan tersebut, maka sampah yang sebenarnya tak perlu diproduksi dapat dicegah sekaligus juga dapat mencegah timbulan sampah.
Jika tahapan pencegahan dan minimalisir sampah sudah dapat dilakukan, kita juga dapat melakukan Tindakan reuse secara parallel. Contohnya, menggunakan galon air minum yang dapat diguna ulang, membawa tumbler saat beraktivitas di luar rumah, mengganti sedotan plastik dengan sedotan logam, membawa totebag saat berbelanja, menulis di kertas bolak-balik, menjadikan kaleng biskuit untuk tempat makanan lain, dan sebagainya.
Gaya hidup mencegah dan meminimalisir serta reuse dapat diterapkan sejak awal. Jika anak didik sudah memahami bahwa cara mengelola sampah adalah tidak menghasilkan sampah atau sesedikit mungkin menghasilkan sampah, maka timbulan sampah yang lebih besar dapat dicegah.
Memang, manusia tidak bisa tidak nyampah. Tetapi dengan cara cerdik, mencegah, meminimalisir hinggga mengguna ulang (reuse) wadah/barang, maka Anda sudah berperan dalam mengelola sampah. Jadi jika Anda melakukan reuse dalam keseharian Anda, maka Anda sudah berkontribusi dalam sistem pengelolaan sampah. Tapi karena reuse tidak menghasilkan sampah, maka sistem ini lebih dari sekadar sistem pengelolaan sampah. Ini cara yang sederhana, yang bisa dilakukan oleh siapa pun, mulai dari anak usia dini hingga dewasa.
Namun karena alasan “kepraktisan”, banyak orang abai, ngapain bawa tumbler, toh kalau airnya habis pasti beli minum dalam botol juga. Pernyataan ini ada benarnya. Tetapi, bayangkan jika satu juga orang setiap hari membawa tumbler, paling tidak satu juta botol plastik tidak akan menjadi sampah. Jadi jika Anda ingin berkontribusi tidak menyumbang lebih banyak sampah plastik, maka Anda bisa mempraktekkan gaya hidup reuse dalam keseharian Anda.
Nah, jika memang terpaksa kita menghasilkan sampah, maka barulah kita melakukan proses pilah sampah kemasan sesuai jenis material kemasannya. Kemasan adalah bungkus makanan atau minuman yang diproduksi oleh produsen. Kemasan itu terbuat mulai dari plastik, kertas, kaca, hingga kaleng. Jika Anda membeli produk dengan kemasan tersebut, sebaiknya kemasannya dipilah berdasarkan jenisnya. Tujuannya adalah agar kualitas kemasan tersebut tetap bersih sehingga dapat didaur ulang.
Kemasan yang terjaga kebersihannya, dapat menjadi bahan baku untuk produk daur ulang. Oleh karena itu, maka pemilahan oleh konsumen mutlak dilakukan sebagai end user yang dapat mengontrol sampah kemasannya dapat didaur ulang atau tidak.
Kemasan yang sudah dipilah oleh konsumen tersebut dapat disetor ke bank sampah. Lalu dari bank sampah akan dikirim ke pelapak, dari pelapak akan dikirim ke pendaur (pencacah) plastik misalnya. Di sinilah proses daur ulang terjadi atau recycling.
Jadi yang melakukan recycling atau daur ulang itu bukan masyarakat atau individu, melainkan pabrik daur ulang dengan menggunakan mesin pencacah. Oleh pendaur, cacahan plastik tersebut kemudian dikirim ke pabrik daur ulang plastik untuk dijadikan barang/wadah yang bermanfaat kembali.
Jadi, jangan salah kaprah ya, daur ulang itu dilakukan oleh pendaur bekerja sama dengan produsen. Tujuannya untuk memperpanjang masa pakai suatu material agar tidak dibuang ke lingkungan dengan cara mengubah material sampah menjadi material baru/serupa yang dapat dimanfaatkan, seperti rPET serta daur ulang close loop (menjadi produk yang sama bottle to bottle) maupun open loop (menjadi produk yang berbeda).
Nah, jadi sekolah dan komunitas sudah paham ya, bisa membedakan apa itu pencegahan, memimalisir sampah, reuse dan recycle? Di Tingkat konsumen, kita bisa mencegah agar tidak nyampah, mengurangi (reduce) sampah, mengguna ulang kembali wadah/barang, hingga memilah sampah dan menyetorkannya ke bank sampah. Setelah itu, tanggung jawab daur ulang ada di produsen sebagai perusahaan yang memproduksi kemasan tersebut.
Pemerintah seyogianya lebih banyak melakukan sosialisasi pencegahan, reduce, dan reuse dalam pengelolaan sampah. Karena konsep itu, tidak sekadar sistem pengelolaan sampah, tapi betul-betul dapat mencegah timbulan sampah. Pemerintah harus lebih sering berkomunikasi dan menyosialisasikan program pengelolaan sampah berbasis reduce dan reuse serta pilah sampah kepada masyarakat, agar masyarakat paham bahwa memilah sampah adalah pintu masuk bagi sampah untuk didaur ulang.
Sementara daur ulang, menjadi tugas produsen untuk melakukannya sesuai dengan Undang-undang No.18 Tahun 2008 dan Permen P.75/2019 Tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Selain itu, produsen bertanggung jawab membatasi timbulan sampah, memanfaatkan kembali sampah/kemasan paska konsumsi, dan mendaur ulang sampah kemasannya. Tak hanya itu, produsen juga berkewajiban memberikan informasi dan edukasi gaya hidup minim sampah kepada masyarakat.
Penulis: Eni Saeni