- Di kalangan produsen beredar anggapan bahwa ketentuan hukum UU Pengelolaan Sampah No.18 Tahun 2008 bersifat sukarela (voluntary) dan bukan kewajiban (obligatory).
- Anggapan ini bukan tanpa alasan. Sebab, kesiapan aparat di level daerah untuk mengontrol/mengevalusai pelaporan program pengurangan dan pengelolaan sampah oleh produsen belum terlihat bentuknya.
Oleh: Soendoro Soepringgo
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P.75/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, menjadi tonggak baru dalam sejarah kebijakan penanganan sampah di Indonesia.
Peta Jalan yang memuat petunjuk pelaksanaan itu menetapkan fungsi, kewenangan, kewajiban, dan tanggungjawab masing-masing stakeholder.
Undang-Undang Pengelolaan Sampah (UUPS) No.18 Tahun 2008 secara umum mengikat setiap orang wajib untuk mengurangi dan menangani sampah secara ramah lingkungan. Juga ada kewajiban untuk menyediakan fasilitas pemilahan sampah berlaku bagi pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, demikian juga pengelola fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya.
Salah satu sumber utama dari timbulan sampah adalah produsen barang. Sampah yang berasal dari bekas kemasan menjadi persoalan lingkungan karena jumlahnya mencapai jutaan ton dan penanganannya memerlukan sumber daya yang besar.
Oleh sebab itu Undang-undang secara khusus mewajibkan Produsen untuk mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya, yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam (Pasal 15 UU 18/2008). Selain itu setiap produsen juga wajib mencantumkan label atau tanda yang berhubungan dengan pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan atau produknya.
Dengan kewajiban berdasarkan Undang-Undang, sebenarnya tidak ada jalan lain bagi produsen kecuali merencanakan dan melaksanakan pengurangan dan pengolahan sampah yang dihasilkan. Tapi, lemahnya sanksi bagi produsen yang membandel membuat undang – undang itu menjadi “macan ompong”, tidak efektif untuk mendorong produsen memenuhi kewajibannya.
Undang – undang mengatur, produsen yang tak melaksanakan kewajibannya dikenai sanksi administratif berupa paksaan pemerintahan; uang paksa; dan/atau pencabutan izin.
Di kalangan produsen beredar anggapan bahwa ketentuan hukum UUPS 18/2008 bersifat sukarela (voluntary) dan bukan kewajiban (obligatory). Anggapan ini bukan tanpa alasan. Sebab, kesiapan aparat di level daerah untuk mengontrol/mengevaluasi pelaporan program pengurangan dan pengelolaan sampah oleh produsen belum terlihat bentuknya.
Penegakan aturan juga belum maksimal, sehingga produsen menganggap pengurangan dan pengelolaan sampah bersifat sukarela. Pemerintah sepertinya harus lebih gencar lagi melakukan kampanye, diseminasi, regulasi tentang sampah. **
- Penulis adalah advokat RI (Peradi), doktor Juris (Leibniz Universitat Hannover), konsultan hukum bisnis dan pemerhati kebijakan publik.