- Jika produsen mengajak Bank sampah sebagai tempat pengumpulan (collection/dropping point) dalam program EPR, maka produsen telah memberikan economic value kepada masyarakat yang melakukan pemilahan dan pengumpulan sampah.
envira.id, Tangerang Selatan – Bank sampah sebagai garda terdepan dalam penanganan sampah siap mendukung produsen menjalankan EPR (Extended Producers Responsibility). Pemerintah harus mendorong produsen bekerja sama secara berkelanjutan dengan bank sampah, TPS 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dan pusat daur ulang dalam mengelola sampah hasil produksinya.
Caecilia Meyta Rahayuningtyas, penggiat bank sampah Komunitas Cinta Lingkungan menyatakan hal tersebut saat menjadi pembicara pada diskusi online “Apa Kabar EPR, Revolusi Sampah Menuju Sirkular Ekonomi”, yang digelar oleh Gerakan Peduli Tangsel. Diskusi ini didukung oleh Smartfren, Gerai Lengkong, 1000 Perempuan Pilah Sampah, Teman Bijak Bumi, dan Bunda Pintar.id.
Menurut Meyta sapaan akrab Caecilia, sebagai garda terdepan dalam penanganan sampah, Bank Sampah mengumpulkan sampah terpilah dari rumah tangga. Hasilnya sampah kemasan yang dikumpulkan kondisinya bersih sehingga dapat menjadi bahan baku daur ulang. Nah, produsen, lanjut Meyta, produsen yang sedang menjalankan EPR dapat melibatkan bank sampah dalam ekosistem penarikan dan pengumpulan sampah kemasannya.
EPR menurut Organisation Economic Co-operation and Development (OECD) adalah program yang bertujuan untuk membuat produsen bertanggung jawab atas dampak lingkungan dari produk mereka di seluruh rantai produk, dari mulai desain sampai dengan fase pasca-konsumen
“Jika produsen mengajak Bank sampah sebagai tempat pengumpulan (collection/dropping point) dalam program EPR, maka produsen telah memberikan economic value kepada masyarakat yang melakukan pemilahan dan pengumpulan sampah,” kata Meyta di depan 50-an partisipan yang hadir dalam diskusi tersebut. Partispan diskusi mayoritas adalah penggerak bank sampah.
Saat ini kondisi bank sampah di Indonesia, seperti hidup segan mati tak mau, selain banyak juga bank sampah yang mangkrak. Data KLH 2023, jumlah bank sampah di Indonesia sebanyak 16.981 unit, jumlah itu turun, karena sebelumnya mencapai 25.540 bank sampah. Salah satu indikator matinya bank sampah, karena kurangnya perhatian Pemerintah. “Minim anggaran menjadi alasan klasik, minta bantuan timbangan pun ditolak,” ucap Caecilia.
Padahal, melalui EPR, Pemerintah Daerah dapat mendorong produsen di wilayahnya untuk merangkul bank sampah dalam menjalankan EPR. Kementerian Lingkungan Hidup pada 2025 menargetkan 300 produsen dapat mengirimkan laporan peta jalan pengurangan sampah dan mengimplementasikannya.
Faktanya hingga 2024, sebanyak 52 produsen telah mengirimkan laporan peta jalan pengurangan sampahnya. Dari jumlah tersebut baru 21 produsen yang laporan peta jalannya sudah mendapat persetujuan untuk dilaksanakan.
Meyta menjelaskan, sejatinya Pemerintah telah mengeluarkan aturan yang mewajibkan pengurangan sampah oleh produsen. Antara lain,UU Pengelolaan Sampah No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, UU No.81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga, dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 75 tahun 2019 (Permen LHK 75/2019) tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
Namun faktanya, pelaksanaan EPR di Indonesia masih rendah. Meyta menegaskan hal itu terjadi karena lemahnya penegakan hukum, belum adanya kelembagaan dan aturan teknis yang jelas mengenai CSR bidang persampahan dan penerapan EPR, dan belum adanya insentif kepada pelaku industri yang telah menerapkan EPR.
“Hingga kini saya melihat belum ada kewajiban yang mengikat kepada pelaku industri, dalam bentuk laporan wajib mengenai program EPR dan tindakan punishment terhadap industri yang tidak menerapkan EPR,” kata Meyta.
Penulis Eni Saeni
Foto: Ardianto Prabowo/envira.id