“Yogya terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.” Joko Pinurbo
envira.id, Jakarta — Mungkin benar apa kata penyair Joko Pinurbo. Penggalan puisi itu seolah mewakili suasana hati siapa saja yang pernah berkunjung ke Yogjakarta. Ada keinginan dan harapan untuk kembali (pulang), dan menemukan ikon kota itu: gerobak yang menjajakan nasi kucing plus lauk, serta kopi arang.
Tapi, di balik romantisme Yogya yang telah melahirkan banyak seniman besar itu, ada probem lama yang tak kunjung terselesaikan, persoalan sampah. Produksi sampah bukannya kian reda, makin ke hari justru makin menggunung. Miris. Yogya bukan lagi semata dikenal sebagai kota gudeg. Masihkah Yogya dirindukan, kalau sudah begini?
Wajar kalau permasalahan sampah terus menjadi sorotan masyarakat Yogyakarta, terutama warga yang berada di sekitar Tempat Penampungan Sementara (TPS) maupun Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST).
Beberapa bulan belakangan ini, penumpukan sampah memang tak terhindarkan, selain karena volume yang meningkat akibat uji coba perubahan jadwal penampungan di TPST Piyungan, yang merupakan sentra sampah di tiga wilayah, yakni Kota Yogya, Sleman dan Bantul, beban sampah Kota Pelajar itu makin berat di saat musim hujan dan liburan.
Menurut data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Daerah Istimewa Yogyakarta, TPST Piyungan yang memiliki luas 2,1 hektar secara rata-rata menampung 750 ton per hari, namun di saat libur bisa melonjak hingga 900 ton per hari. Maka, bisa dibayangkan di saat libur Nataru dan musim hujan seperti ini, Yogya bakal “diteror” sampah.
Apalagi, selama enam bulan ke depan (dimulai sejak Oktober 2022), TPST Piyungan hanya bisa bergiliran menerima sampah dari tiga TPS, karena sedang dilakukukan perbaikan/perawatan. Sehingga, ada kemungkinan sampah akan menumpuk di beberapa sudut kota Yogya.
Hal inilah yang memicu sejumlah warga di sekitar TPST Piyungan, pada Mei lalu, menggelar aksi protes. Warga keberatan dengan sampah Piyungan yang berkali-kali melampaui kapasitasnya sehingga semakin mencemari hidup mereka. Cairan sampah yang ditimbulkan, terutama saat hujan, diklaim merusak tanah pertanian . Belum lagi bau menyengat yang ditimbulkan sungguh menusuk hidung.
Persoalan kapasitas tampung TPST Piyungan, diakui pula oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY Kuncoro Cahyo Aji. Ia bilang, sebelum Covid-19, sampah yang masuk di Sleman dan Bantul sekitar 530 ton perhari. Jumlah ini justru makin membengkak setelah pandemi.
“Menjadi 730 ton per hari,” kata Kuncoro dalam sebuah diskusi “Obrolan Pagi RBT Jogja, Rabu pekan lalu.
Secara realitas, tegas Kuncoro, peningkatan ini tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan tempat penampungan sampah dan penanganan tata pengelolaan sampah yang baik.
Karena itu, dalam pandangan Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto, pengelolaan sampah tidak bisa dikerjakan sendiri, tapi mutlak dibutuhkan sinergi dan kolaborasi antara Pemda DIY, Pemda kabupaten/kota, dan pemerintah di tingkat desa.
Itu saja tidak cukup. Masih dibutuhkan regulasi agar perencanaan dapat berjalan, yakni Perda tentang Pengelolaan Sampah, Peraturan Desa tentang Pengelolaan Sampah dan anggaran yang mencukupi.
Sejatinya, memandang sampah bukan hanya persoalan membuang, tapi dapat dilihat dari tiga sudut pandang: kemanfaatan, peluang bisnis, dan sinergi—kolaborasi antarlembaga. Eko mengingatkan, pengelolaan sampah yang buruk berimbas langsung terhadap minat wisatawan untuk berkunjung ke Yogya.
Pengelolaan sampah, menurut Eko seharusnya dilakukan di tingkat pertama, yakni rumah tangga, instansi dan pemerintah, bukan di TPA. Oleh karenanya, pekerjaan rumahnya adalah mengedukasi di tingkat hulu, menyiapkan sarana dan prasarana serta sinergi dan kolaborasi semua pihak.
“Yang juga penting adalah menjembatani dengan bisnis. Membuat circle bisnis. Daur ulang sampah yang tepat dapat menjadikan produk mempunyai nilai jual,” tandas Eko.
Seperti dikatakan Ketua II Perkumpulan Yogyakarta Green and Clean, Zaenal Mutakin, seharusnya hanya sisa akhir sampah yang dimasukkan dalam TPA. Masyarakat masih menganggap sampah harus dibuang, padahal tidak. Sampah jika dipilah masih dapat dimanfaatkan. Kesadaran inilah yang masih belum timbul di masyarakat.
Zaenal mengatakan, jika pemerintah tidak bisa bergerak langsung ke masyarakat, maka bisa bekerja sama dengan penggerak pengolahan sampah. Ia kemudian mengutip UU 18/2008 intinya membuka pemberian kompensasi bagi komunitas yang mengelola sampah mereka.
Saat ini, menurut data yang dimiliki lembaganya, 60% sampah yang dibuang ke TPA merupakan sampah organik. Untuk itu, fokus pengelolaan sampah arus diarahkan ke jenis sampah seperti ini. Sebab, bank sampah yang didirikan masyarakat enggan menerima sampah organik.
“Ini (pengolahan sampah organik-red) menjadi tanggung jawab penuh pemerintah daerah,” tandas Zaenal.
Sejauh ini, di Yogya, seperti dikatakan Kabid Pengelolaan Persampahan DLH Yogyakarta, Ahmad Haryoko, pihaknya sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat, terutama pelaku UMKM untuk mengupayakan penggunaan produk kemasan ramah lingkungan, agar dapat mengurangi sampah plastik serta memberikan stimulasi agar UMKM berkreasi terhadap sampah agar dapat dimanfaatkan dan memiliki nilai bisnis. .
Penulis : Ahmadi Supriyanto