- Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus bekerja sama dalam pengelolaan lahan mangrove. Jokowi minta disiapkan secara matang, mulai dari pembibitan hingga penanaman.
envira.id, Jakarta — Presiden Joko Widodo ingin menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia telah berbuat konkret dalam menghadapi perubahan iklim. Maka, pada momen KTT G20 di Bali, Jokowi mengajak para pemimpin dan lembaga internasional untuk menanam mangrove di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, sekaligus menyaksikan apa yang telah dilakukan Indonesia untuk memperbaiki lingkungan.
Momen ini jelas bukan sekadar seremonial. Dalam “G20 Bali Leaders’ Declaration” bahkan ada 5 pasal (butir 13 hingga 17) yang secara tegas menyatakan komitmen para negara anggota G20 untuk mendukung permasalahan iklim global.
“Indonesia mengajak negara anggota G20 untuk berkolaborasi, bekerja sama dalam sebuah aksi nyata untuk pembangunan hijau, pembangunan ekonomi hijau yang inklusif,” kata Jokowi di hadapan pimpinan negara usia menanam mangrove di Tahura.
Dipilihnya Tahura Ngurah Rai bukan tanpa alasan. Lokasi ini merupakan contoh kesuksesan restorasi ekosistem mangrove yang dilakukan pemerintah Indonesia. Kawasan seluas 1.300 hektar tersebut sebelumnya merupakan area tambak ikan yang terabrasi, namun kini, sudah berhasil diubah menjadi rumah bagi 33 spesies mangrove dan 300 fauna.
“Sebagai negara pemilik hutan mangrove yang terluas di dunia, yaitu 3,3 juta hektare hutan mangrove kita, Indonesia ingin berkontribusi kepada perubahan iklim, terhadap perubahan iklim,” ungkap Presiden.
Berdasarkan Peta Mangrove Nasional yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2021, total luas mangrove Indonesia seluas 3.364.076 hektar. Dari jumlah itu, diklasifikasikan lagi menjadi tiga kategori sesuai persentase tutupan tajuk, yakni mangrove lebat seluas 3.121.239 hektar (93 persen), mangrove sedang seluas 188.363 hektar (5 persen), dan mangrove jarang seluas 54.474 hektar (2 persen)
Sebagai informasi, merujuk pada SNI 7717-2020, kondisi mangrove lebat adalah mangrove dengan tutupan tajuk lebih dari 70 persen; mangrove sedang dengan tutupan tajuk 30-70 persen; dan mangrove jarang dengan tutupan tajuk kurang dari 30 persen.
Bila dilihat lebih dalam lagi, sebaran mangrove Indonesia dengan kondisi tutupan yang lebat tertinggi berada di Provinsi Papua dengan total luasan sebesar 1.084.514 hektar. Sedangkan sebaran mangrove lebat terendah berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta seluas 8 hektar.
Sebaran mangrove dengan kondisi tutupan sedang tertinggi berada di Provinsi Kalimantan Utara seluas 41.615 hektar dan sebaran mangrove sedang terendah berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta seluas 3 hektar.
Sebaran mangrove dengan kondisi tutupan jarang tertinggi berada di Provinsi Sumatera Utara seluas 8.877 Ha dan sebaran mangrove jarang terendah berada di Provinsi Bali seluas 75 hektar.
Kemudian, dari total luasan mangrove di Indonesia, seluas 2.261.921 hektar (79 persen) berada di dalam kawasan hutan dan seluas 702.798 hektar (21 persen) berada di luar kawasan hutan. Berdasarkan data yang ada, kondisi mangrove lebat di luar kawasan hutan seluas 586.054 hektar, mangrove sedang di luar kawasan hutan seluas 86.834 hektar, dan mangrove jarang di luar kawasan hutan seluas 29.910 hektar.
Untuk sebaran mangrove di luar kawasan hutan, diidentifikasi mangrove dengan tutupan lebat tertinggi berada di Provinsi Kalimantan Timur, mangrove sedang tertinggi berada di Provinsi Kalimantan Utara, dan mangrove jarang tertinggi berada di Provinsi Sumatera Utara dan Jawa Tengah.
Jokowi di hadapan para pemimpin negara G20 mengatakan, Indonesia bakal menambah hutan mangrove serupa di 33 lokasi pada tahun 2023 mendatang. Model rehabilitasi mangrove di Tahura Ngurah Rai yang telah dibangun sejak tahun 2003 itu menjadi contoh bagus karena dapat dimanfaatkan sebagai sarana edukasi, pariwisata, dan penguatan perekonomian.
Komitmen ini ditegaskan lagi oleh Kepala Negara dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Tahun 2022 yang digelar di Gedung A.A. Maramis, Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu, (21/12) lalu.
Dalam kesempatan tersebut, Presiden mendorong agar dana yang ada di BPDLH dimanfaatkan untuk pengelolaan lahan mangrove yang dinilai mampu mereduksi emisi karbon 8 hingga 12 kali lipat dari hutan biasa.
“Sudah konsentrasi di situ karena banyak lahan mangrove kita yang memang harus kita perbaiki, konsentrasi di situ,” ucap Presiden.
Dalam pengelolaan lahan mangrove pun, Presiden meminta agar disiapkan secara matang, mulai dari pembibitan hingga penanamannya. Presiden ingin agar pemerintah pusat dan daerah bekerja sama dalam hal pengelolaan lahan mangrove.
“Saya kira kerja sama seperti itu yang kita inginkan, konkret, nyata, bisa dikalkulasi, bisa dilihat, bisa dihitung. Kalau ndak, lupakan,” ujar Presiden.
Pemerintah kelihatannya memang perlu menambah luasan lahan mangrove terutama fokus pada rehabilitasi kawasan mangrove dengan kondisi tutupan yang jarang. Dan, pembagian peran dalam rehabilitasi kawasan mangrove jarang harus dilakukan sesuai dengan tugas, pokok, dan fungsi Kementerian/Lembaga terkait.
BPDLH merupakan wadah untuk mengelola pendanaan global dicampur dana yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah (pemda), negara donor, institusi pendanaan bilateral atau multilateral, filantropi, serta sektor swasta melalui mekanisme blended finance.
Hingga saat ini dana yang dikelola sebesar 968,6 juta dolar AS atau sekitar Rp14,52 triliun melalui skema pengelolaan BLU, yang bisa dimanfaatkan oleh Kementereian dan Lembaga Negara. Pemerintah Daerah, masyarkaat, maupun perorangan untuk program peningkatan kualitas lingkungan hidup.
Dana tersebut antar lain berasal dari dana reboisasi kehutanan, hibah Green Climate Fund untuk proyek REDD+ RBP, Ford Foundation melalui program Community Based Program Dana TERRA dan Bank Dunia.
Penulis: Ahmadi Supriyanto