- Selain pengurangan produksi kemasan saset, perlu dibarengi langkah bertahap mendukung sistem guna ulang sebagai solusi mengatasi krisis saset.
envira.id, Jakarta—Saset menjadi sampah plastik terbanyak yang mencemari lingkungan di Indonesia. Kesimpulan ini merupakan hasil brand audit yang dilakukan jaringan masyarakat pegiat lingkungan, yang menunjukkan ada lima produsen pencemar saset terbanyak di lingkungan.
“Brand audit dilakukan di 34 titik lokasi audit dengan jumlah saset yang terkumpul sebanyak 9.698 bungkus,” kata Plastics Project Leader Greenpeace Indonesia Ibar Akbar dalam keterangannya, Kamis (2/5) seperti dilansir dari infopublik.
Brand audit ini merupakan hasil kerja sama jaringan masyarakat pegiat lingkungan yang terdiri dari Greenpeace Indonesia, Ecoton, Walhi, Trash Hero Indonesia, dan YPBB.
Dari hasi audit itu, ditemukan lima produsen pencemar saset terbanyak, yaitu Wings (1251 saset), Salim Group (672), Mayora Indah (629), Unilever (603), dan PT Santos Jaya Abadi (454).
Menurut Ibar, produsen memilik tanggung jawab atas sampah bahkan secara khusus tentang saset tercantum dalam Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
Peraturan itu mewajibkan produsen, salah satunya manufaktur, untuk membuat peta jalan pengurangan sampah dari kemasannya sebesar 30 persen hingga 2029 mendatang.
Tetapi, sambung dia, dari 10 produsen pencemar terbanyak di Indonesia, hanya Unilever dan Danone melalui PT Tirta Investama yang mengirimkan dokumen peta jalan pengurangan sampahnya.
Sementara itu, koordinator Audit Merek Ecoton, Alaika Rahmatullah, mengatakan tingkat keresahan masyarakat terhadap sampah plastik khususnya kemasan saset semakin tinggi setelah temuan brand audit ini.
Apalagi, sambung dia, nama produsen yang sama muncul kembali dalam hasil audit. Hal ini menimbulkan keprihatinan sekaligus paradoks.
“Tidak hanya melihat jumlahnya, tetapi tentang bagaimana tanggung jawab produsen terhadap dampak lingkungan dari kegiatan bisnis mereka,” ucapnya.
Ibar berharap temuan brand audit ini penting untuk dijadikan evaluasi untuk mempertimbangkan langkah-langkah produsen yang lebih bertanggung jawab ke depannya, terlebih tidak lagi menggunakan kemasan saset.
Sementara itu, koordinator Trash Hero Indonesia, Rima Putri Agustina, mengungkapkan, jaringan relawan di Indonesia Timur, yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Ambon, juga menemukan saset sebagai sumber plastik terbesar dalam kegiatan yang mereka lakukan.
Menurutnya, daerah Timur Indonesia adalah geografi yang rentan terhadap pencemaran plastik. Alasannya, kawasan ini terdiri dari banyak pulau kecil, dengan layanan pengumpulan sampah yang terbatas. Pengumpulan sampah hanya terdapat di daerah ibukota kabupaten saja.
Menurutnya, kasus Indonesia Timur menjadi gambaran tentang persoalan limbah saset yang tidak bisa diserahkan kepada pemerintah daerah dan konsumen saja, tapi harus sudah menjadi tanggung jawab produsen.
Peneliti di YPBB, Fictor Ferdinand, menyarankan agar selain pengurangan produksi kemasan saset, perlu dibarengi langkah bertahap mendukung sistem guna ulang sebagai solusi mengatasi krisis saset.
Menurutnya, langkah yang dilakukan bisnis guna ulang ini menjadi solusi konkret yang seharusnya dipilih produsen. Saat ini terdapat regulasi yang mendukung sistem guna ulang yang tertuang pada peraturan BPOM Nomor 12 Tahun 2023 dan standar PR3 untuk menciptakan kerangka kerja bisnis guna ulang yang aman dan dapat diandalkan.
“Bisnis refill dan reuse yang dikembangkan masyarakat, adalah contoh bagaimana sistem yang sama dapat dikembangkan produsen,” terangnya.
Namun, kata dia, untuk saset dari produsen besar belum ditemukan sampah yang ditimbulkan karena kondisi regulasi dan mekanisme perizinan di Indonesia tidak mendukung pengemasan ulang.
Karenanya, dia berharap pemerintah perlu lebih tegas meregulasi para produsen, dan pada saat yang sama, menciptakan kondisi kondusif agar bisnis refill masyarakat bisa berkembang.
Di sisi lain, lanjutnya, para produsen perlu menjadi pionir untuk solusi yang sesungguhnya, yaitu refill dan reuse, tidak lagi menghasilkan sampah yang masih harus diolah oleh konsumennya
Sebagai informasi, konsumsi saset di Asia Tenggara hampir mencapai separuh dari pangsa global, yakni di angka 1,3 triliun saset pada 2027. Perjanjian plastik global yang sedang berlangsung proses negosiasinya antara negara anggota, menjadi satu-satunya peluang seumur hidup untuk mengatasi krisis plastik.
“Maka, sangat penting untuk memiliki perjanjian plastik global yang kuat dan ambisius untuk mengurangi produksi plastik dan mendorong beralihnya bisnis plastik sekali pakai ke sistem guna ulang,” tandasnya.
Secara global, sachet terjual per tahun kurang lebih sebanyak 855 miliar. Kemasan saset menawarkan kenyamanan dan harga murah.
Namun, sampah saset menjadi beban lingkungan karena karakter kemasannya yang fleksibel terdiri dari berbagai jenis plastik dan lapisan foil membuatnya sulit untuk dikelola dan didaur ulang oleh sistem pengelolaan sampah.
Sayangnya, sebagian besar saset berakhir di TPA dan mencemari badan-badan air seperti sungai, hingga pantai.
Penulis: Ahmadi Supriyanto