- Perlu promosi kesehatan terkait kebiasaan membakar sampah, bahan bakar memasak yang tidak aman, serta kebiasaan membawa anak saat memasak.
envira.id, Jakarta—Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut, ada lima besar penyakit yang diakibatkan oleh polusi udara di Indonesia pada 2019.
Penyakit itu adalah adalah strok, penyakit jantung iskemik (ischemic heart disease), diabetes melitus, penyakit paru obstruktif kronis (chronic obstructive pulmonary disease/COPD), dan neonatal disorders.
Temuan ini merupakan hasil analisa dari Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dede Anwar Musadad, seperti dipublikasikan awal pekan ini, terkait riset beban penyakit akibat pencemaran udara.
Dikatakan, hasil analisis menunjukkan, lima besar penyakit akibat polusi udara di provinsi dengan beban penyakit akibat polusi udara tinggi ada di kawasan timur Indonesia, seperti Sulawesi Barat, Maluku Utara, NTT, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah.
Menurut umur, lanjutnya, beban penyakit akibat polusi udara tinggi pada kelompok bayi baru lahir.
“Kalau menurut jenis kelamin, pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan,” tegas Anwar.
Lebih jauh, jenis polusi udara yang erat kaitannya dengan tingginya beban penyakit adalah polusi udara dalam ruang (rumah tangga). Sementara dengan polusi udara ambien (luar ruangan) tidak menunjukkan hubungan yang bermakna.
Dari beberapa penelitian, ditengarai tingginya penyakit saluran pernapasan pada anak dan balita terkait dengan tingginya pencemaran udara di dalam rumah tangga.
Juga, adanya kebiasaan ibu membawa bayi atau balita saat memasak di dapur, sehingga bayi dan balita terpapar asap.
Ia menyarankan perlunya promosi kesehatan terkait kebiasaan membakar sampah di rumah tangga, penggunaan bahan bakar memasak yang tidak aman, serta kebiasaan membawa anak saat memasak.
Selain itu, tegasnya, perlu terus digalakkan kebijakan pengalihan penggunaan bahan bakar tidak ramah lingkungan ke penggunaan bahan bakar yang aman, seperti listrik dan gas.
Dede mengatakan, analisis beban penyakit menggunakan metode Disability-Adjusted Life Years (DALYs) loss. Yaitu, tahun hilang yang disebabkan karena disabilitas, kematian prematur, dan penyakit yang bisa melumpuhkan dan atau kecelakaan lalu lintas.
Dijelaskan Dede, sumber data tersebut diambil dari Global Burden of Diseases, Injuries, and Risk Factors Study (GBD) 2010-2019 yang dilakukan International Health Metric & Evaluation (IHME).
Dede mengatakan, analisis dilakukan pada level nasional dan provinsi. Analisisnya mengacu pada metode WHO untuk semua penyakit menurut tahun, provinsi, kelompok umur, dan jenis kelamin.
“Tingginya angka DALYs di masyarakat atau negara menunjukkan keadaan kualitas kesehatan yang tidak baik,” kata Dede.
Hasil analisis menunjukkan, polusi udara merupakan faktor risiko lingkungan urutan pertama penyebab DALYs loss, baik pada 1990 maupun 2019.
Karena itu, ia menekankan pentingnya pemantauan pencemaran udara secara rutin, baik polusi udara luar ruang (ambient air pollution) maupun dalam ruang (household air pollution).
Surveilans kualitas udara dalam ruangan, menurut Dede, perlu dilakukan oleh petugas puskesmas, sesuai Permenkes Nomor 1077 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang Rumah.
Ia mengingatkan, pencemaran udara di Indonesia telah terbukti menyebabkan beban penyakit terutama penyakit katastropik. Sehingga, menyebabkan dampak ekonomi yang tinggi.
Walaupun terjadi penurunan dari 1990 ke 2019, lanjut dia, upaya pengendalian pencemaran udara tetap harus terus dilakukan dengan memperhatikan variasi pencemaran antarprovinsi, sumber pencemaran, kelompok umur, dan jenis kelamin.
Sebagai informasi, polusi udara menurut WHO adalah adanya kontaminasi lingkungan yang ada di dalam atau luar ruangan.
Penyebabnya adalah agen kimia, fisik, biologis, dan lain-lain yang bisa mengubah karakteristik alami atmosfer. Kontaminasi ini pada umumnya terjadi sebagian besar karena aktivitas manusia. []
Penulis: Ahmadi Supriyanto