- Pemanfaatan sampah organik dan sampah kota sebagai sumber energi merupakan salah satu program pengembangan bioenergi nasional.
envira.id, Jakarta—Serpihan kemasan produk berbagai merek, termasuk sampah botol dan cup minuman dalam kemasan, mendominasi timbulan sampah di berbagai site dan rantai jalur sampah termasuk di TPA.
“Ini mengindikasikan willingness (keinginan) produsen atau pemilik brand menjalankan dua program pilar pengurangan sampah, yakni EPR dan up sizing, belum efektif,” kata Ahmad Safrudin, lead researcher Net Zero, saat menyampaikan keterangan tertulisnya, Rabu (22/11).
Extended Producer Responsibility atau EPR adalah prinsip perluasan kewajiban yang ditetapkan pemerintah untuk produsen agar bertanggung jawab atas keseluruhan daur hidup setiap produknya, terutama terkait pengambilan kembali (take back), daur ulang dan pembuangan akhir produk.
Up Sizing adalah arah kebijakan packaging yang ditetapkan pemerintah dengan maksud agar produsen meninggalkan kemasan ukuran kecil dan beralih ke kemasan dengan ukuran yang lebih optimum untuk mengurangi potensi timbulan sampah.
Riset yang dilakukan Net Zero bersama Litbang Kompas itu, digelar serempak di enam kota pada 2022, yakni Medan, Samarinda, Makassar, Denpasar, Surabaya, dan DKI Jakarta.
Audit investigasi sampah plastik mencakup pengumpulan, pemilahan dan identifikasi sampah di 17 sampel Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di setiap kota.
Riset ini, dikatakan Ahmad Safrudin, ditekankan pada kemasan plastik kecil yang sulit diolah, kurang bernilai ekonomis dan mudah tercecer, seperti saset, plastik kresek, bungkus mie instan dan air mineral kemasan gelas, yang mendominasi pembuangan akhir sampah.
“Audit investigasi sampah di enam kota berhasil menghadirkan potret faktual pengelolaannya di tengah masyarakat,” kata dia.
Hasilnya, sambung Ahmad Safrudin, teridentifikasi 1.930.495 sampah plastik yang terbagi dalam 635 varian sampah produk konsumen dari berbagai merek.
Sementara itu, Nila Kirana dari Litbang Kompas mengatakan, ada 77,5 persen responden yang tidak pernah mengumpulkan kemasan dan mengembalikannya ke produsen.
Lalu, ada 75,7 persen responden yang tidak pernah mengumpulkan produk sampah yang dikumpulkan oleh produsen.
Dari survei ini, sambung Nila, memberikan gambaran apa yang ada di pikiran masyarakat, apa yang mungkin telah berkembang menjadi persepsi masyarakat, mindset masyarakat.
Riset itu juga menemukan, peran bank sampah di enam kota yang disurvei menunjukkan peran bank sampah belum optimal karena selalu berorientasi pada sampah bernilai tinggi saja.
“Ini tidak berbeda dengan pemulung yang sebatas melakukannya dengan motif ekonomi,” Ahmad Safrudin menambahkan. []
Penulis: Ahmadi Supriyanto