Refleksi KLHK 2022: Tahun Penuh Keberanian Si Macan Air

oleh Ahmadi
  • Kebakaran yang muncul secara nasional tidak signifikan karena dapat ditangani dengan baik.

envira.id, Jakarta — Selama tahun 2022, Kementerian Lingkungan Hidup mengklaim telah melakukan sejumlah langkah, yang disebut sebagai “Tahun Penuh Keberanian”. Di tahun macan air itu, juga dikatakan sebagai tahun refleksi puncak kepemimpinan simbolik internasional Presiden Joko Widodo.

Dikatakan penuh keberanian, namun realistik itu, karena tahun 2022 Indonesia sanggup menetapkan negative emission Indonesia dari sektor FOLU tahun 2030. Kebijakan ini diputuskan ketika Indonesia harus berada dalam posisi high ambition on climate action.

Indonesia Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net-Sink 2030 merupakan suatu kondisi di mana tingkat serapan karbon sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya sudah berimbang atau bahkan lebih tinggi dari tingkat emisi yang dihasilkan sektor tersebut pada tahun 2030.

FOLU Net Sink 2030 dapat dicapai melalui 11 langkah operasional mitigasi sektor FOLU, yaitu, pengurangan laju deforestasi lahan mineral; pengurangan laju deforestasi lahan gambut; pengurangan laju degradasi hutan lahan mineral; pengurangan laju degradasi hutan lahan gambut; pembangunan hutan tanaman; sustainable forest management; rehabilitasi dengan rotasi; rehabilitasi non rotasi; restorasi gambut; perbaikan tata air gambut; dan konservasi keanekaragaman hayati.

Beberapa pokok capaian yang disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, akhir Desember tahun lalu, antara lain soal kebakaran yang muncul secara nasional tidak signifikan karena dapat ditangani dengan baik.

Sebagai informasi, angka luas kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2022 mengalami penurunan. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi tahun ini seluas 154.180 Ha (42,96%), sebelumnya dalam kurun enam tahun jumlah karhutla tergolong tinggi. Pada tahun 2016 tercatat 438.363 Ha. Kemudian, tahun 2017 (165.483 Ha), tahun 2018 (529.266 Ha), tahun 2019 (1,6 juta Ha), tahun 2020 (296.942 Ha), dan tahun 2021 (358.867 Ha).

Penurunan karhutla diduga karena cuaca yang basah di dua tahun ini sehingga kebakaran hutan tidak berkembang. Kondisi di tahun 2023 diperkirakan akan berubah. Setidaknya, begitu perkiraan dari Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, beberapa waktu lalu.

Berdasarkan kondisi iklim hingga Juni 2023, menurut Dwikorita, secara umum potensi rendah untuk kejadian titik api. Perlu diwaspadai kemarau 2023 (Agustus-September) yang dapat lebih besar potensi karhutlanya dibanding saat kemarau basah di tahun 2020-2022. Secara khusus, yang perlu diwaspadai adalah potensi karhutla di wilayah utara Sumatera, yaitu Sumut, Riau dan Aceh pada Februari 2023.

Menyinggung penanganan karhutla, Menteri Siti mengatakan, sejak tahun 2020, pemerintah terus lakukan uji coba, terutama setelah Presiden Joko Widodo meminta dilakukan penyelesaian masalah karhutla secara permanen.

“Jadi pencegahannya dengan cara monitoring hotspot, kemudian operasi/patroli, Teknik Modifikasi Cuaca, penegakan hukum, tata kelola lansekap terutama gambut, dan livelihood. Jadi kesejahteraan masyarakatnya juga penting,” katanya. []

Penulis: Ahmadi Supriyanto

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?