Mulai Tahun 2030, Pemerintah Setop Pembangunan TPA

oleh Ahmadi
  • Diperlukan penguatan sirkuler pengelolaan sampah agar tujuan zero waste dan zero emission dapat tercapai. Peran masyarakat dan swasta mutlak diperlukan

envira, Jakarta—Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memutuskan untuk tidak membangun Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah pada tahun 2030. Selanjutnya, pemerintah akan mengoptimalkan pengelolaan sampah agar tidak memberikan efek buruk terhadap lingkungan, terutama emisi dari gas rumah kaca.

Terhadap sampah-sampah yang saat ini ada, atau sampah lama akan dioptimalkan untuk di-landfill mining atau ditambang untuk kemudian dilakukan pengolahan lebih lanjut, seperti dijadikan briket untuk bahan bakar pabrik semen, pabrik yang menggunakan boiler, dan pembangkit listrik. Produk briket sampah ini lebih dikenal dengan Refused Derived Fuel (RDF).

Selain itu, gas metana yang dihasilkan oleh TPA harus dimanfaatkan. Untuk itu, pemerintah menargetkan tahun 2025 seluruh TPA sudah bisa memanfaatkan gas metana ini untuk sumber energi.

“Pada tahun 2005, kita ingat di TPA Leuwigajah ada tragedi 155 orang meninggal karena ledakan gas metana,” kata Dirjen Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK, Rosa Vivein Ratnawati, saat membuka diskusi rutin Pojok Iklim, Rabu, 22 Februari 2023.

Selain menyetop pembangunan TPA, mulai tahun 2031, pemerintah menargetkan tidak akan ada lagi sampah yang dibakar, dan di tahun 2040 hanya sampah residu yang benar-benar ada di TPA. Hal ini dimungkinkan karena diperkirakan pemilahan sampah di tingkat hulu dan pemrosesan sampah sudah berjalan.

Untuk itu, perlu dilakukan penguatan rantai pengelolaan sampah yang melibatkan peran aktif masyarakat dan swasta. Sebab, untuk mencapai pengelolaan sampah yang sirkuler tidak cukup peran aktif masyarakat saja. Sebab, kalau sampah telah dipilah, dan tidak ada offtaker-nya (pengepul) maka kegiatan di hulu menjadi sia-sia.

Untuk itu, KLHK tengah menyiapkan langkah penguatan sirkuler ini, dimulai di tingkat kecamatan akan dilihat bagaimana pemilahan dilakukan mulai pasar untuk dipisahkan antara organik dan anorganik.

Vivien mengingatkan, kontribusi gas metana yang dihasilkan dari sampah terhadap perubahan iklim sangat besar. Data KLHK tahun 2022 jumlah timbulan sampah sebesar 68,7 juta ton. Dari jumlah itu, sampah organik mendominasi jumlah total sampah, sebagai penghasil gas metana, yang merupakan penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca.

“Sebanyak 41,27 persen di antaranya dari sisa makanan, dan 38,28 persen berasal dari sampah rumah tangga,” kata Vivein.

Vivein menyebut, sebanyak 65,83% sampah di Indonesia masih diangkut dan ditimbun di TPA, yang sebagian besar merupakan sampah organik sisa makanan. Timbulan sampah ini akan menghasilkan gas metana. Padahal, efek gas metana terhadap perubahan iklim sangat besar, kekuatan daya rusaknya sampai 25 kali lebih besar dari CO2 dalam memperangkap panas di atmosfir.

Dalam kesempatan HPSN 2023 ini, Vivien mengajak masyarakat untuk mulai memilah sampahnya dari rumah, mengingat efek dari tindakan kecil ini terhadap perubahan iklim sangat besar. []

Penulis: Ahmadi Supriyanto

 

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?