- Cara pandang sampah yang hanya kumpul, angkut, buang sudah usang dan harus ditinggalkan. Paradigma pengelolaan sampah saat ini bukan lagi linear tapi sirkuler yang memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat.
envira.id, Jakarta—Pengelolaan sampah ke depan tidak lagi bertumpu pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Pemerintah memutuskan untuk untuk menyetop pembangunan TPA di tahun 2030. Lalu kemana sampah akan dikumpulkan?
Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3), Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, paradigma penanganan sampah yang dulu kumpul, angkut, buang sudah berubah. Sejak ada UU No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, sampah dipandang tidak lagi sebagai limbah yang dibuang begitu saja tapi melalui 3R (reduce, reuse, recycle).
Maka, dengan begitu, pengelolaan sampah tidak lagi linier tapi menjadi ekonomi sirkuler. “Perlu pelibatan seluruh aspek rantai pengelolaan sampah dari hulu ke hilir untuk menguatkan pengelolaan sampah di sumber, mengurangi timbulan sampah ke TPA, dan mengurangi efek emisi rumah kaca,” kata Vivien dalam diskusi rutin Pojok Iklim, Rabu (22/2).
Yang menggembirakan saat ini, lanjut Vivien, anak-anak muda mulai kreatif dan mau terlibat dalam socialpreneur di bidang sampah. Keberadaan ini sangat penting untuk menguatkan ekonomi sirkuler.
Seluruh rantai nilai pengelolaan sampah dioptimalkan dengan Extended Producer Responsibility (EPR), pendekatan gaya hidup minim sampah, serta mengembangkan bank sampah.
Ia mencontohkan, ada usaha yang namanya “ecotouch” yang bergerak di bidang peredam suara. Uniknya, bahan baku peredam ini berasal dari limbah tekstil yang cukup banyak ditemukan di TPA.
Padahal, kalau saja bisa dipilah dari awal di hulu, kata Vivien, sampah tekstil ini bisa dimanfaatkan dan tidak harus menumpuk di TPA dan akhirnya menggunung.
Soal pemilahan ini menurut Vivien sangat penting, sebab ada banyak sampah yang sebenarnya bisa dijadikan bahan daur ulang, termasuk sampah makanan.
Sampah makanan, menurutnya, selain dijadikan kompos dapat dijadikan maggot (ulat) untuk pangan ternak dan ikan. Sedangkan untuk makanan yang belum terlalu rusak dan layak konsumsi bisa diolah ulang, seperti buah-buahan dapat dijadikan minuman jus, atau keik.
Ia juga menyebut, tidak semua sampah dapat didaur ulang, seperti plastik, kaca, botol, dan sejenisnya yang punya nilai ekonomi tinggi sebagai bahan daur ulang. Sampah seperti saset, pembalut, dan popok tidak dapat didaur ulang, tetapi masih bisa diolah menjadi briket dalam produk Refuse-Derived Fuel (RDF).
“Jadi, sampah itu sebenarnya masih bisa bermanfaat dan ada nilai ekonominya,” tegas Vivien. “Makanya, pemerintah menargetkan tahun 2040 hanya sampah residu saja yang benar-benar tidak bisa diolah, yang dapat dimasukkan di TPA.” []
Penulis: Ahmadi Supriyanto