- Agar ancaman itu tidak benar terjadi maka dibutuhkan aksi kolaboratif konkret seluruh pemangku kepentingan di tingkat global (multilateralism), regional dan nasional meningkat.
envira.id, Jakarta—Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengingatkan, dunia saat ini sedang mengalami tiga krisis lingkungan (triple planetary crisis) sekaligus, yang mengancam kesejahteraan dan ketahanan hidup jutaan manusia di dunia.
“Dan berdampak terhadap pencapaian agenda SDGs (sustainable development goals),” kata Menteri Siti saat menyaksikan penandatanganan Nota Kesepahaman kerja sama antara KLHK dengan Mahkamah Agung (MA) dalam bidang hukum sebagai wujud perlindungan lingkungan hidup dan kehutanan (LHK) Indonesia, Selasa, 21 Maret 2023.
Ancaman yang dimaksud Menteri Siti adalah perubahan iklim (climate change), kepunahan keanekaragaman hayati (nature and biodiversity loss), dan pencemaran (pollution).
Untuk mengatasi hal itu, tegasnya, dibutuhkan aksi kolaboratif konkret seluruh pemangku kepentingan di tingkat global (multilateralism), regional dan nasional. Kerja sama ini penting untuk membangun keharmonisan antar manusia dengan alam, serta mempercepat transisi menuju sistem sosial-ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Sebelumnya, Kepala Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, mengingatkan akan dampak mengerikan yang bakal dihadapi dunia akibat perubahan iklim. Krisis pangan hampir terjadi di seluruh dunia. Ancaman ini bisa menjadi kenyataan jika masyarakat global tidak mampu memonitor perubahan iklim itu.
Soal kondisi bumi yang memprihatinkan juga disampaikan World Meteorological Organization (WMO). Dalam keteranganya awal pekan ini, Sekjen WMO Petteri Taalas, mengatakan dampak perubahan iklim sudah jelas terasa pada manusia, ekonomi dan sosial yang skalanya semakin meningkat.
Ia lalu mengutip laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim. Publikasi yang diterbitkan 20 Maret 2023 itu menunjukkan saat ini dunia sedang menuju pemanasan 2,2-3,5 derajat.
Padahal, kata Taalas, setiap pemanasan 3 derajat akan berdampak dramatis pada kesehatan manusia, biosfer, ketahanan pangan, dan ekonomi global. “Risiko-risiko mengerikan itu dapat dihindari jika kita tetap berada dalam pemanasan 1,5 derajat,” katanya.
Taalas mengingatkan bahwa saat ini parameter iklim menunjukkan arah yang salah. Seperti pemanasan laut; pengasaman laut; pencairan gletser; kenaikan permukaan laut; banjir dan peristiwa kekeringan; konsentrasi karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida.
Menghadapi krisis lingkungan global itu, kata Menteri Siti, Indonesia telah sangat aktif dalam berbagai kesepakatan global pada ranah perubahan iklim, di antaranya pada bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta pengendalian pencemaran, pengelolaan sampah dan limbah bahan berbahaya dan beracun, serta kerusakan lingkungan.
“Keterlibatan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia, ikut menjaga peningkatan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat menuju 1,5 derajat dari tingkat suhu pra industrialisasi,” tegas Menteri LHK.
Di Indonesia katanya, target tersebut diterjemahkan dan ditetapkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC) dengan target penurunan emisi sebesar 29% (dengan kemampuan sendiri) dan sampai dengan 41% (dengan dukungan kerja sama internasional) pada tahun 2030, dibandingkan dengan skenario business as usual dengan tahun dasar 2010.
Selanjutnya, sambung Menteri Siti, komitmen Indonesia diperkuat dalam Dokumen Enhanced NDC (ENDC) yang diterbitkan pada 22 September 2022. Dalam ENDC, ditegaskan peningkatan ambisi penurunan emisi gas rumah kaca, yakni dengan kemampuan sendiri meningkat menjadi 31,89 % serta dengan dukungan Internasional meningkat menjadi 43,20 %.
Peningkatan target tersebut, jelasnya, didasarkan pada kebijakan-kebijakan nasional terakhir, terkait perubahan iklim seperti FOLU Net Sink 2030, percepatan penggunaan kendaraan listrik, kebijakan B40, peningkatan aksi di sektor limbah seperti pemanfaatan sludge IPAL serta peningkatan target pada sektor pertanian dan industri.
Seperti diketahui, FOLU Net Sink atau Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 diatur dalam Keputusan Menteri LHK Nomor 168 Tahun 2022 tentang Indonesia’s Forestry and Other Land Use Net Sink 2030 untuk Pengendalian Perubahan Iklim. FOLU Net Sink 2030 adalah kondisi ketika tingkat serapan emisi sudah seimbang atau lebih tinggi pada tahun 2030 sebagai upaya aksi mitigasi perubahan iklim dari sektor FOLU.
“Sektor FOLU ini berkontribusi 60% terhadap total target pengurangan emisi Indonesia dan ditargetkan untuk negative emission pada tahun 2030 untuk sektor kehutanan dan net zero pada tahun 2060 atau lebih cepat untuk semua sektor NDC secara keseluruhan,” jelas Menteri Siti. []
Penulis: Ahmadi Supriyanto