- Persoalan sampah sampai saat ini masih membelit Indonesia. Penyelesaiannya tidak bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri, butuh dukungan banyak pihak.
Indonesia sampai kini masih menghadapi berbagai persoalan sampah yang tidak pernah selesai. Sampai-sampai, Presiden Joko Widodo menyentil beberapa pejabat daerah untuk segera menyelesaikan masalah sampah yang tak kunjung teratasi ini. Banyak yang bilang, kondisi Indonesia saat ini sedang mengalami darurat sampah. Begitukah?
Rasanya, tidak berlebihkan bila ada yang bilang Indonesia dalam kondisi siaga satu menghadapi bahaya sampah yang sudah dalam taraf membahayakan lingkungan dan kehidupan. Setidaknya, ada beberapa hal yang dapat dilihat untuk pendapat itu.
Pertama, jumlah penduduk dan pengelolaan sampah. Jumlah penduduk Indonesia yang besar, mencapai lebih dari 270 juta, tentu menghasilkan sampah yang juga besar. Sebenarnya populasi tidak terlalu menjadi masalah, jika pengelolaan sampah dilakukan dengan baik. Pertanyaannya, apakah pengelolaan sampah di Indonesia sudah berjalan semestinya?
Pemerintah pusat dan daerah saat ini memang sedang menggenjot pembangunan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang baik dengan peralatan yang lebih modern agar sampah menjadi lebih memiliki nilai tambah ekonomi dan bersilkuler. Tapi tidak dengan di daerah-daerah terpencil. TPA yang ada pun, masih banyak yang belum dioperasikan dengan baik dan menyebabkan pencemaran lingkungan.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama pemerintah Jerman pernah melakukan studi dalam pola kemitraan penanganan sampah di perkotaan (Kota Cirebon, Malang, Bukittinggi, Jambi, Denpasar, dan Kabupaten Bogor). Data itu menyebutkan rata-rata, 72 persen sampah berakhir di TPA, dan 17 persen bocor ke lingkungan.
Di beberapa kota lain diperkirakan dalam 2-4 tahun ke depan bakal menghadapi problem yang sama bila tidak ada lahan perluasan TPA. Sementara, tingkat daur ulang sampah hanya mencapai 11 persen. Angka ini masih belum cukup ideal untuk mengurangi jumlah sampah ke TPA.
Kedua, paradigma yang keliru. Masih banyak masyarakat yang menganggap TPA sebagai solusi mengatasi masalah sampah. Banyak juga yang mengira kalau TPA adalah tempat membuang sampah. Padahal tidak. TPA itu bukan sebagai tempat pembuangan, TPA berfungsi sebagai tempat pemrosesan sampah sebelum nantinya sampah dikembalikan ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan. Ini dimuat dalam UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Sejatinya, tidak semua sampah bisa langsung berakhir di TPA. Sampah seharusnya dikelola secara bertanggung jawab dan dimanfaatkan materialnya sampai benar-benar tidak lagi bisa digunakan dan didaur ulang. Kondisi seperti ini yang menyebabkan banyak TPA di Indonesia kelebihan beban.
Ketiga, rendahnya kesadaran masyarakat. Harus diakui, kesadaran masyarakat terhadap masalah sampah masih sangat minim. Soal perilaku membuang sampah, misalnya, begitu rendah. Masyarakat menganggap persoalan sampah hal sepele dan klasik. Mereka masih saja membuang sampah ke sungai, selokan atau tempat pembuangan sampah yang tidak terkelola dengan baik. Sampah-sampah inilah yang kemudian mencemari lingkungan.
KLHK pernah merilis, sekitar 40% sampah yang dihasilkan di Indonesia tidak terkelola dengan baik dan berakhir di lingkungan. Sampah yang berakhir di lingkungan ini bisa mencemari sungai, laut, dan udara serta mengancam kehidupan hewan dan manusia.
Keempat, sulitnya mengajak masyarakat memilah sampah. Pemilahan sampah menjadi masalah besar di Indonesia. Banyak masyarakat yang masih belum terbiasa memilah sampah menjadi organik, anorganik, dan berbahaya. Akibatnya, sampah yang seharusnya bisa didaur ulang atau diolah menjadi pupuk organik justru terbuang sia-sia. Sebenarnya, ada banyak material yang bisa dimanfaatkan berulang kali sebelum masa pakainya benar-benar habis. Selain menghemat energi, kegiatan guna ulang juga bermanfaat mengurangi sampah menumpuk di TPA.
Bayangkan saja, rata-rata sampah yang dihasilkan orang Indonesia itu 0,7 kilogram per hari. Dengan jumlah penduduk 270 juta, berapa banyak tumpukan sampah yang berakhir di TPA jika sampah tanpa dipilah. Yang jelas, risiko bocor ke lingkungan sangat tinggi mengingat infrastruktur pengelolaan sampah sangat minim dan lahan TPA yang terbatas.
Kelima, penggunaan plastik yang tinggi. Penggunaan plastik sekali pakai di Indonesia sangat tinggi dan seringkali tidak diolah dengan baik sehingga mengakibatkan banyak sampah plastik yang sulit terurai dan mencemari lingkungan.
Di tahun 2019, KLHK merilis, Indonesia menghasilkan 6,8 juta ton sampah plastik. Namun, angka tersebut diduga jauh lebih tinggi karena masih banyak sampah plastik yang tidak terhitung, seperti sampah plastik yang bocor ke lingkungan atau sampah plastik dari sektor informal yang tidak terdaftar.
Sebuah studi yang dilakukan Ellen MacArthur Foundation pada tahun 2018, mengatakan, Indonesia adalah negara kedua terbesar di dunia dalam hal jumlah sampah plastik yang masuk ke laut setelah Tiongkok. Setiap tahun, sekitar 1,3 juta ton sampah plastik bocor ke laut di Indonesia, yang berdampak buruk pada ekosistem laut dan kesehatan manusia.
Data ini menunjukkan, pengelolaan sampah plastik merupakan salah satu tantangan besar di Indonesia dan perlu adanya upaya yang serius dari semua pihak untuk mengatasinya.
Beberapa faktor di atas memperkuat asumsi yang menyebut Indonesia mengalami darurat sampah, yang membutuhkan upaya serius dari berbagai pihak. Yang pasti, pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta harus bekerja sama dan mengambil tindakan untuk mengurangi jumlah sampah, meningkatkan pemilahan sampah, dan meningkatkan kualitas pengelolaan sampah di Indonesia. []
Penulis: Ahmadi Supriyanto