- Memproduksi kendaraan listrik justru menghasilkan lebih banyak emisi pemanasan global daripada memproduksi kendaraan berbahan bakar bensin.
envira.id, Jakarta — Siapa menduga perkembangan mobil dan motor listrik sekarang ini bergerak begitu cepat. Apalagi, pemerintah terus mendorong warganya untuk menggunakan electric vehicle (EV) alias kendaraan listrik yang diklaim ramah lingkungan itu.
Ada studi menyebut, mobil listrik mampu menekan emisi karbon penyebab pencemaran udara. Satu unit mobil listrik diperkirakan dapat mengurangi pencemaran udara hingga 4,6 metrik ton gas rumah kaca setiap tahunnya.
Perpres No.55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan diluncurkan pada 12 Agustus 2019. Berbagai intensif baik fiskal maupun nonfiskal diberikan pemerintah demi melancarkan program kendaraan bermotor listrik (KBL) ini.
Coba lihat saja daftar keringanan pajak berdasarkan Perpres No.55 itu. Ada insentif bea masuk atas importasi KBL. Keringanan pajak penjualan atas barang mewah. Lalu, pembebasan atau pengurangan pajak pusat dan daerah. Yang lainnya adalah insentif pembuatan peralatan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan masih ada beberapa lainnya.
Sedangkan insentif nonfiskal berupa pengecualian dari pembatasan penggunaan jalan tertentu. Misalnya, kebijakan plat nomor ganjil-genap di Jakarta tidak berlaku untuk kendaraan listrik. Untuk kelancaran produksi, pemerintah bahkan menjamin pengamanan operasional sektor industri ini.
Tak heran jika sejumlah produsen otomotif kelas dunia ancang-ancang untuk berinvestasi di sini. Sebut saja Toyota. Melalui Asia Region CEO Toyota Motor Corporation, Yoichi Miyazaki menyatakan produsen asal Jepang itu segera memproduksi mobil listrik di Indonesia. Tak tanggung-tanggung Yoichi sesumbar, perusahaan itu siap menggelontorkan dana investasi hingga USD2 miliar atau setara dengan Rp28,29 triliun untuk rencana tersebut.
Demikian pula dengan pabrikan asal Korea Selatan, Hyundai Motor Company. Hyundai yang merupakan salah satu konglomerasi di negeri K-Pop itu sudah menyiapkan modal USD2 miliar atau setara dengan Rp28 triliun untuk membangun pabrik mobil listrik di Jawa Barat.
Seperti dilaporkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pabrikan kendaraan asal Korea Selatan ini akan merealisasikan secara bertahap. Tahap pertama USD1,5 miliar (Rp21 triliun) untuk membangun pabrik. Adapun USD500 juta atau Rp7 triliun sisanya akan digunakan untuk membangun jaringan dealer.
Ini baru dua perusahaan besar. Kita tentu saat ini sering melihat mobil listrik mungil Wuling yang wara-wiri di jalan. Berdasarkan catatan, Wuling Air EV berhasil menjadi mobil listrik terlaris di Indonesia sepanjang tahun 2022, dengan penjualan sebanyak 8.053 unit atau hampir lima kali lebih banyak dari Hyundai IONIQ 5 yang berada di peringkat kedua.
Itu bagian dari perkembangan kendaraan listrik di Indonesia. Tapi, isu yang berkembang, benarkah KBL benar-benar aman untuk lingkungan. Oke, mobil listrik memang tidak menghasilkan emisi karbon karena tidak memakai bensin. Tapi, produksi kendaraan ini ternyata juga menghasilkan limbah jenis lainnya.
Sebuah publikasi dari Emission Analytics yang berbasis di Inggris menyebut, mobil listrik 30% lebih sering mengganti ban dibanding mobil konvensional. Masalahnya, keausan ban yang tergerus di aspal ternyata menghasilkan polusi udara (NEE) yang cukup mengerikan. Disebutkan, ambang bahaya NEE 1.000 kali lebih buruk ketimbang gas buang knalpot. Produksi NEE yang dihasilkan dari keausan ban, rem, dan permukaan jalan sekitar 5,8 gram. Bandingkan dengan emisi gas buang knalpot yang hanya 4,45 gram per kilometer (standar Eropa).
Efek samping ini bukannya tidak disadari. Saat ini produsen mobil listrik mulai mengembangkan ban ramah lingkungan. Tapi, ini pun tidak berarti masalah selesai. Di tahap produksi, untuk menghasilkan sebuah mobil listrik ternyata justru banyak mengeluarkan emisi karbon.
Union of Concerned Scientist pernah bilang, memproduksi kendaraan listrik justru menghasilkan lebih banyak emisi pemanasan global daripada memproduksi kendaraan berbahan bakar bensin. Hal ini karena energi dan bahan yang dibutuhkan untuk menghasilkan baterai kendaraan listrik juga tinggi. Sebagai perumpamaan, untuk menambang satu ton lithium, butuh sekitar 500.000 galon (2.273.000 liter) air.
Permasalahan terakhir yang masih menghantui sektor kendaraan listrik adalah terkait limbah baterai listrik. Saat ini ini charging atau Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Indonesia dan sistem swap battery sebagai pendukung ekosistem industri EV juga belum banyak. Selain itu, banyak pabrik manufaktur di dunia yang masih menggunakan batu bara sebagai bahan energi. [dari berbagai sumber]
Penulis: Ahmadi Supriyanto