Skincare Versus Skinimalism

oleh Ahmadi
  • Skinimalism terbilangan gerakan sosial baru yang ingin ikut melindungi bumi sekaligus mengingatkan konsumen untuk bijak menggunakan skincare dan kosmetik. Tantangannya kian berat karena berhadapan dengan selera pasar dan pemain besar di industri ini.

envira.id, Jakarta — Ancaman terhadap keberlanjutan lingkungan seiring sejalan dengan kemajuan peradaban manusia, termasuk urusan perawatan tubuh, hal yang paling esensial bagi harkat manusia.

Sentuhan ego inilah yang sering dimanfaatkan produsen untuk mendongkrak penjualannya. Sosial media dan para influencer ibarat kuda pacuan dan joki yang siap memacu penetrasi industri kecantikan. Terbukti, angka pertumbuhan produk kecantikan terus melesat.

Data ini paling tidak bisa memberikan gambaran itu. Di tahun 2023 ini pendapatan di sektor industri kosmetik diperkirakan bakal mencapai USD8,6 miliar padahal tahun 2020 “masih” di angka USD7 miliar. Tahun 2024 diprediksi mencapai USD9,07 miliar dan terus meroket hingga menyentuh USD9,58 miliar di 2025. Tapi, pencapaian ini, di sisi lain mencemaskan banyak orang, termasuk pegiat lingkungan.

Lonjakan penggunaan skincare meresahkan karena dapat meningkatkan risiko keberlanjutan. Sampah yang dihasilkan dari produk kecantikan lumayan bikin ciut nyali: 50% sampah plastik berasal dari wadah kosmetik. Sedangkan produksi kosmetik di seluruh dunia mencapai 120 miliar kemasan.

Ada data menyebut, pada tahun 2015, sebanyak 61% kemasan kosmetik dan skincare terbuat dari plastik. Empat tahun kemudian, tepatnya 2019, angkanya naik 12% menjadi 73%. Lalu, 40% wadah plastik itu merupakan kemasan sekali pakai, di mana hanya 14% saja yang berhasil didaur ulang. Sisanya, berakhir di TPA, dibakar atau bermuara ke laut.

Bahkan, Ellen MacArthur Foundation memperkirakan di tahun 2050, jumlah sampah plastik akan lebih banyak dari jumlah ikan. Kemasan-kemasan kosmetik dan skincare baru dapat diurai setelah 1000 tahun.  Di Indonesia, menurut data dari Badan Pusat Statistik dan Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS), sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun, dan sebanyak 3,2 juta berakhir di laut. 

Pada 2019, Indonesia bahkan menjadi negara nomor dua penyumbang sampah plastik paling banyak, yakni 3,21 juta metrik ton per tahun, merujuk dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sampah wadah plastik skincare juga termasuk di dalam angka tersebut. Sedangkan menurut lembaga Waste4Change, saat ini sampah plastik bekas dari industri kecantikan mencapai 6,8 juta ton dan 70 persennya tidak terolah dengan baik.

Atas kondisi memprihatinkan ini, dalam beberapa tahun kebelakang memunculkan gerakan skinimalism. Skinimalism boleh dibilang gerakan anyar dalam menjaga dunia. Singkatnya, skinimalism mengajak orang untuk menggunakan skincare atau perawatan kulit yang dimiliki sampai habis.

Pemicunya karena banyak pengguna skincare yang membeli karena tergoda bujuk rayu produsen tanpa literasi yang mencukupi. Asal beli, kemudian tak pernah dipakai atau minim dipakai lalu dibuang. Kebiasaan ini sejatinya hanya imbas dari kebingungan mereka yang tidak sanggup menyaring penawaran yang begitu gencar masuk.

Tentu saja skinimalism tidak hanya fokus pada persoalan lingkungan, tetapi juga mengajak konsumen untuk lebih berhati-hati dalam memperlakukan wajah, yang seringkali dilapisi hingga berlayer-layer krim. Skinimalism menyederhanakan perawatan wajah lewat cara lebih alami. Ada beberapa alasan yang diajukan para pengusung skinimalism, tentang pentingnya gerakan ini .

  1. Sudahi konsumsi produk kosmetik berlebihan. Seperti halnya fesyen, poles-poles kecantikan juga selalu ada tren yang berkembang dan itu tidak akan berkesudahan.
  2. Hemat waktu, biaya dan wadah. Skinimalism mengajak untuk lebih sederhana dalam merawat tubuh sehingga bisa lebih ringkas, hemat waktu, dan yang jelas bisa mengurangi limbah wadah tak terpakai.
  3. Setop mengejar kesempurnaan kulit. Kenali standar kulit tubuh di mana kita tinggal, tidak usah ngoyo dengan kesempurnaan dengan kaca orang lain yang belum tentu sesuai. Saatnya mencintai dan menerima kulit sendiri dan realistis dalam merawatnya.

Tak ada kata terlambat untuk memulai. Anda sebagai konsumen kosmetik bisa mengambil beberapa tindakan untuk menciptakan bumi yang lebih berkelanjutan dengan langkah kecil. Misalnya, gunakan kosmetik kadaluarsa seperti lotion atau toner untuk membersihkan kulit sintetis dan perabotan.

Kemasan bekas kosmetik bisa dikreasikan untuk kegunaan lainnya, seperti mengisi botol bekas parfum dengan essential oil atau tempat bedak yang dialihfungsikan untuk tempat jarum, peniti, bahkan aksesoris favorit Anda. Atau, jual kembali (preloved) kosmetik yang tidak cocok dengan kulit Anda. Selain bisa mengurangi sampah, tindakan ini bisa hemat dan menguntungkan.

Terakhir, Anda bisa memilah sampah dan menyerahkan limbah kosmetik di tempat penampungan sampah (bank sampah) yang tersedia di beberapa tempat. Sebelum diserahkan ke bank sampah sebaiknya sampah wadah kosmetik itu dibersihkan dulu. []

Penulis: Ahmadi Supriyanto

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?