- Tumpuan tapak bawah ada di masyarakat, yaitu hukum adat, dan juga lembaga swadaya masyarakat. Komunikasi yang baik, saling respek akan membentuk kohesi sosial sebagai modal penguatan di lapisan bawah.
envira.id, Jakarta—Solusi untuk mengatasi perubahan iklim saat ini tidak lagi bisa mengandalkan tatanan atas seperti sebelumnya. Sebaliknya, ketika tapak bawah berjalan baik, terjadi konsolidasi yang bagus, maka dengan sendirinya tatanan atas akan mengikuti. Lalu, karena di tapak bawah keanekaragaman hayati terjaga dan penyerapan karbon juga bagus maka dengan sendirinya tatanan atas membaik.
“Dulu di mana yang menentukan ke atas dan kemudian ke bawahnya tinggal nurut aja. Zaman dulu atas yang ngatur kemudian tapak nurut, kemudian berbagai mukjizat terjadi sekarang diubah oleh kenyataan-kenyataan yang sekarang ini,” kata Sarwono Kusumaatmadja, Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPPI) dalam diskusi Pojok Iklim, Rabu, 1 Maret 2023.
Sarono mengatakan, apa yang dilakukan Kementerian Lingkungna Hidup dan Kehutanan dengan FOLU Net Sink 2030 sudah sangat baik, di mana menyatakan semua lahan yang berada di dalam yuridiksi KLHK sudah memiliki rencana maupun program untuk menekan emisi gas rumah kaca hingga 0 pada tahun 2030.
Program bagus ini, tegas Sarwono, hanya akan berhasil jika tatanan tapaknya kuat. Sebab, dari tapak bawahlah sebenarnya penyembuhan itu terjadi dan kemudian merambat ke atas.
Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 adalah sebuah kondisi yang ingin dicapai melalui penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan dengan kondisi dimana tingkat serapan sama atau lebih tinggi dari tingkat emisi. Program ini menjadi panduan Indonesia dalam melakukan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan Iklim serta juga merupakan bagian dari aspirasi Indonesia menuju Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) pada 2050.
Bagi KLHK, FOLU Net Sink 2030 dapat dicapai melalui 15 aksi mitigasi sektor FOLU, yaitu: Pengurangan laju deforestasi lahan mineral; Pengurangan laju deforestasi lahan gambut; Pengurangan laju degradasi hutan lahan mineral; Pengurangan laju degradasi hutan lahan gambut; Pembangunan hutan tanaman;
Kemudian, sustainable forest management; Rehabilitasi dengan rotasi; Rehabilitasi non rotasi; Restorasi gambut; Perbaikan tata air gambut; Konservasi keanekaragaman hayati; Perhutanan sosial; Introduksi replikasi ekosistem, ruang terbuka hijau dan ekoriparian; Pengembangan dan konsolidasi hutan adat; dan Pengawasan dan law enforcement dalam mendukung perlindungan dan pengamanan kawasan hutan.
Lebih lanjut Sarwono mengatakan, karena tumpuan utama banyak di tapak bawah seperti masyarakat, hukum adat dan lembaga swadaya masyarakat, maka ada dua hal yang harus dilakukan agar tapak bawah menjadi kuat, yakni komunikasi dengan baik dan menanamkan saling percaya. “Tanamkan saling percaya di antara partisipan itu,” tegas Sarwono. “Dari sana akan muncul saling respect dan kemudian pelan-pelan lambat laun akan terjadi kohesi sosial.”
Pada kesempatan itu, Sarwaono juga menyentil para ilmuan yang terkesan Berusaha keras pendapatnya dapat diterima. Sementara, banyak di tapak bawah tidak begitu tertarik untuk memahami orang lain.
Orang-orang di lapisan bawah sudah berabad-abad hidup dengan alam sehingga sudah memahami bagaimana menghadapinya. Maka membangun kepercayaan menjadi sangat penting. “Kearifan yang tidak terbukti secara ilmiah sering dianggap sebagai takhayul dianggap terbelakang, itu tidak boleh. Nah, di situ ada gap. Kita harus jaga. Saling respek. Kearifan itu kekuatan mereka,” tegasnya.
Jika kohesi sosial bisa terjadi Sarwono yakin karya-karya besar di bidang lingkungan hidup bisa diciptakan. Tetapi sebaliknya, bila tidak dicarikan solusi atas “gap” ini maka apapun yang dikerjakan selalu menimpulkan friksi. []
Penulis: Ahmadi Supriyanto