- Izin impor pasir laut sebagai langkah mundur jauh ke belakang dalam konteks perlindungan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut Indonesia.
envira.id, Jakarta—Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak pemerintah mencabut kebijakan pembukaan kran impor pasir laut karena dapat mengorbankan kelestarian pesisir, laut, dan pulau kecil dalam jangka panjang.
“Cabut PP No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, serta Moratorium Permanen Tambang Pasir Laut dan Reklamasi Pantai di Indonesia,” demikian pernyataan terbuka Walhi yang dipublikasikan dalam situsnya, Rabu, 31 Mei 2023.
Menurut Walhi, kebijakan kran impor pasir dapat melanggengkan krisis ekologis, terutama di kawasan pesisir, di laut dan pulau-pulau kecil.
Apa yang dilakukan pemerintah melalui PP No.26 ini, dalam pandangan Walhi sebagai langkah mundur jauh ke belakang dalam konteks perlindungan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut Indonesia, termasuk perlindungan wilayah tangkap nelayan yang merupakan produsen pangan laut utama di Indonesia.
“Hari ini, masyarakat pesisir di Indonesia sedang berhadapan dengan ancaman dampak buruk krisis iklim berupa tenggelamnya desa-desa pesisir, termasuk tenggelamnya pulau-pulau kecil di Indonesia akibat kenaikan air laut. Tren global kenaikan air laut adalah 0,8–1 meter,” demikian Walhi.
Walhi mengingatkan, pada masa yang akan datang, sebanyak 115 pulau kecil di perairan dalam Indonesia, dan 83 pulau kecil terluar (terdepan) akan tenggelam akibat kenaikan air laut.
Artinya, tegas Walhi, PP ini akan menjadi ancaman terhadap tenggelamnya desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia yang akan berlangsung semakin cepat.
Berdasarkan pengalaman Walhi saat pendampingan di berbagai tempat menunjukkan sejumlah fakta. Misalnya, di Kepulauan Seribu, telah ada 6 pulau kecil yang tenggelam akibat ditambang untuk kepentingan reklamasi di Teluk Jakarta.
Kemudian, di Pulau Kodingareng, Sulawesi Selatan, tambang pasir laut mengakibatkan air laut menjadi keruh. Banyak Nelayan di Indonesia telah menjual perahu milik mereka untuk menyambung hidup.
“Tak hanya itu, ombak semakin meninggi. Sebelum adanya aktivitas tambang pasir laut, ketinggian ombak hanya mencapai sekitar satu meter tetapi saat ini sudah mencapai tiga meter,” tegas Walhi.
Selain ombak yang tinggi, sebut Walhi, nelayan juga kesulitan menghadapi arus ombak yang datang tanpa jeda, sehingga menyulitkan nelauan untuk mencari ikan di perairan tersebut.
Perubahan arus ombak di sekitaran perairan yang telah ditambang, terang Walhi, telah menimbulkan kecelakaan sesama nelayan dan juga menenggelamkan perahu milik nelayan yang sedang melaut.
Bahkan, dilanjutkan, beberapa nelayan telah meninggalkan kampung halaman beserta istri dan anak untuk menyambung hidup.
Di Pulau Rupat Riau, lanjut Walhi, tambang pasir laut telah mempercepat abrasi kawasan pesisirnya serta membuat nelayan semakin sulit menangkap ikan.
Kemudian di Lombok Timur, nelayan-nelayan yang terdampak tambang pasir laut untuk reklamasi Teluk Benoa, Bali, harus melaut sampai ke perairan Sumba.
“Berdasarkan hal tersebut, penerbitan PP 26 tahun 2023 akan memperburuk kehidupan masyarakat pesisir, terutama nelayan dan perempuan nelayan, serta semakin memiskinkan mereka,” tegas Walhi. []
Penulis: Ahmadi Supriyanto