- Plastik yang berakhir di lautan sebagian besar dihasilkan dari sumber polusi darat yang membutuhkan penanganan.
envira.id, Jakarta—Pengelolaan sampah secara konvensial dengan hanya menitikberatkan pada pemrosesan akhir melalui fasilitasi landfill sudah sepatutnya ditinggalkan. Pasalnya, cara ini telah menimbulkan permasalahan lingkungan lain hingga perubahan iklim akibat emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dihasilkan.
“Beban tempat pemrosesan akhir yang berat, membuat pengelolaan sampah menjadi tidak optimal dan berpotensi untuk menimbulkan permasalahan lingkungan,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Dirjen PSLB3 KLHK), Rosa Vivien Ratnawati, dalam keterangan resmi, Kamis (8/6).
Permasalahan lingkungan, seperti dikatakan Vivien dalam workshop Pengelolaan Sampah dalam rangka Pengendalian Perubahan Iklim, Penguatan Ketahanan Pangan dan Pengembangan Ekonomi Rakyat di Bandung, di antaranya adalah pencemaran lingkungan, longsor sampah, dan juga perubahan iklim akibat emisi gas metana dari timbunan sampah di landfill.
Data KLHK 2022 menunjukkan, sebanyak 65,83 persen sampah di Indonesia masih diangkut dan ditimbun di landfill. Kondisi ini membuat KLHK mendorong pengembangan teknologi tepat guna dalam pengolahan sampah dan pelibatan peran aktif seluruh lapisan masyarakat yang bisa dipraktikkan oleh seluruh daerah di Indonesia.
Teknologi itu di antaranya instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik, pengolahan sampah menjadi RDF, SRF, dan biogas serta pengolahan sampah melalui biokonversi maggot Black Soldier Fly (BSF).
“Penerapan berbagai opsi teknologi pengolahan sampah ramah lingkungan ini diharapkan dapat mengurangi timbulan sampah ke TPA dan ke depannya hanya residu yang diangkut ke TPA,” kata Vivien.
Vivien juga mengingatkan, pengelolaan sampah konvensional dan polusi plastik menjadi ancaman nyata permasalahan lingkungan yang berdampak pada setiap komunitas di seluruh dunia.
Dikatakannya, program lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nation Environmenl Programme (UNEP) memprdiksi, pada 2040 mendatang akan terdapat 29 juta ton plastik masuk ke ekosistem perairan.
Padahal, kata dia, plastik yang berakhir di lautan sebagian besar dihasilkan dari sumber polusi darat yang membutuhkan penanganan dengan kerangka hukum dan kelembagaan dalam proses pengelolaan sampah yang komprehensif.
Karena itulah, Vivien mengajak kepada semua pihak terus menggalakkan berbagai langkah dan upaya untuk mendorong kehidupan yang berkelanjutan secara kondusif agar lingkungan sehat.
Misalnya membersihkan plastik di pantai-pantai, kawasan konservasi, bantaran sungai, tempat-tempat umum sebagai bagian dari perayaan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2023, sehingga dapat memperkuat budaya kehidupan berkelanjutan.
“Karena, sebagai negara dengan kearifan lokal yang tinggi, mari kita hidupkan kembali dan tanamkan pengetahuan dan pendekatan modern inovatif menuju negara yang lebih bersih, hijau dan bebas plastik,” tandasna. []
Penulis: Ahmadi Supriyanto