- Kemitraan teknologi plastik nasional Indonesia dalam melanjutkan inisiatif bilateral yang berfokus pada pemberdayaan ekonomi, inovasi teknologi, dan pengurangan sampah perlu diapresiasi.
envira.id, Jakarta—Secara global, 75 persen sampah plastik yang diproduksi berakhir menjadi sampah. Atas kenyataan ini, peran pemerintah saja tidak cukup untuk mengatasi krisis tersebut. Dibutuhkan peran swasta yang lebih kuat untuk pengelolaannya.
Salah satunya dilakukan oleh Indo-Pacific Plastics Innovation Network (IPPIN), yakni sebuah inisiatif yang mendukung upaya para wirausahawan untuk menciptakan dampak positif melalui kekuatan inovasi, sains, dan teknologi demi mengatasi masalah global yang mendesak ini.
Sebagai wujud gerakan ini, Rabu (18/10), IPPIN menggelar Demo Day yang menampilkan hasil solusi inovatif dari para wirausahawan dan perusahaan rintisan dalam mengatasi masalah sampah plastik.
Gelaran ini merupakan kolaborasi Plastics-Innovation Hub Indonesia, sebuah kemitraan antara badan sains nasional Australia, CSIRO, Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi serta Kemitraan Aksi Plastik Nasional Indonesia.
Demo Day digelar setelah para wirausahawan dan peneliti mengikuti bimbingan selama delapan minggu untuk mengasah ide-ide, serta membangun kesiapan pasar sambil memerhatikan lingkungan melalui program akselerator.
Salah satu penampil adalah Gulontam dari RiverRecycle, perusahaan asal Finlandia. Perusahaan yang berdiri tahun 2019 itu menciptakan model bisnis unik yang menawarkan layanan pembersihan sungai berkelanjutan. Model ini dirancang tanpa pendanaan terus-menerus, yang harus dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan daerah.
“Tujuan kami adalah menghentikan sampah plastik memasuki lautan sekaligus menciptakan perubahan positif jangka panjang,”: kata Gulontam.
Cara kerja yang dilakukan RiverRecycle sebenarnya cukup sederhana, yakni mereka mengumpulkan, mendaur ulang sampah plastik dan puing-puing yang mengambang di sekitar sungai. Sampah itu kemudian dijadikan produk daur ulang yang dapat dijual sebagai modal pembiayaan operasional.
Saat ini, perusahaan tersebut telah memiliki proyek aktif di lima negara, termasuk India, Bangladesh, Filipina, Ghana, dan Indonesia. Proyek ini telah mendapatkan manfaat dari jaringan kemitraan dan kolaborasi yang luas, dan turut menciptakan lapangan pekerjaan untuk para pemungut sampah plastik di wilayah tersebut.
Alasan dipilihnya negara-negara tersebut karena Asia termasuk wilayah dengan sungai terkontaminasi di dunia, dari 20 sungai yang paling tercemar, 15 di antaranya ada di Asia.
Ada lagi produk inovatif lainnya dari Circle 8, yang menawarkan teknologi disruptif. Temuan ini diklaim sebagai solusi yang nyaman, terjangkau, dan mudah diakses untuk mengatasi krisis sampah plastik global.
CEO Circle 8, Mark Grogan mengatakan, melalui aplikasi SmartBin, konsumen akan mudah untuk berkontribusi terhadap pengurangan sampah plastik. Konsumen diberikan insentif berupa reward dari setiap sampah plastik yang dapat didaur ulang.
Kemudahannya, sistem ini memungkinkan pengguna mengidentifikasi barang limbah dengan menggunakan barcode atau QR, melalui sistem AI. Alat ini memiliki tenaga rendah dan hemat biaya karena didukung energi matahari. []
Penulis: Ahmadi Supriyanto
KLHK, IPPIN, AUSTRALIA, SMARTBIN, SAMPAH PLASTIK