Pembangunan 12 PLTSa: Jalan Panjang Menuju Net Zero Emission 2060

oleh Ahmadi
  • PLTSa merupakan program pemerintah untuk bisa memanfaatkan energi yang bersih dan terbarukan.

envira.id, Jakarta — Sampah memang menjadi problem laten dunia, termasuk tentu saja di Indonesia. Bahkan, untuk urusan ini, Presiden Joko Widodo menyentil jajarannya dan kepala daerah soal penanganan sampah yang belum juga beres.

Pemerintah sendiri sebenarnya telah menyiapkan sejumlah langkah untuk penanganan sampah dengan langkah nyata, seperti membangun  Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di 12 kota yang telah dimulai sejak 2019 lalu.

Rencana PLTSa ini masuk dalam  Program Prioritas Nasional (PSN) yang tercantum dalam Perpres Nomor 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.

Regulasi ini diterbitkan agar pemerintah daerah tidak ragu untuk mengelola sampah menjadi listrik.

Proyek PLTSa, merupakan program pemerintah untuk bisa memanfaatkan energi yang bersih dan terbarukan, dan merupakan salah satu bentuk komitmen Indonesia yang telah menyepakati global methane pledge untuk mengurangi emisi gas metana hingga 30% pada tahun 2030, serta untuk mengejar target Net Zero Emission pada tahun 2060.

Adapun 12 PLTSa itu berlokasi di DKI Jakarta, Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Kota Bekasi, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, Kota Makassar, Kota Denpasar, Kota Palembang dan Kota Manado.

Merinci lebih jauh, Surabaya (10 MW)  menjadi kota pertama yang mengoperasikan pembangkit listik berbasis biomassa tersebut dari volume sampah sebesar 1.500 ton/hari dengan nilai investasi sekitar USD49,86 juta.

Lokasi PLTSa kedua berada di Bekasi. PLTSa tersebut memiliki nilai investasi sebesar USD120 juta dengan daya 9 MW. Selanjutnya, ada tiga pembangkit sampah yang berlokasi di Surakarta (10 MW), Palembang (20 MW), dan Denpasar (20 MW). Total investasi untuk menghasilkan setrum dari tiga lokasi yang mengelola sampah sebanyak 2.800 ton/hari sebesar USD297,82 juta.

Sisanya, Jakarta sebesar 38 MW dengan investasi USD345,8 juta, Bandung dengan kapasitas 29 MW dan investasi sebesar USD245 juta, Makassar, Manado, dan Tangerang Selatan dengan masing-masing kapasitas 20 MW dan investasi yang sama, yaitu USD120 juta.

PLTSa menggunakan fitur teknologi pengolah sampah yang cocok digunakan di Indonesia. Sebagian besar peralatan dibuat di dalam negeri dengan kapasitas sampah yang diolah sebesar 100 ton/hari. Sedangkan, listrik yang dihasilkan mencapai 700 kilowatt hour (kWh).

Meski begitu, rencana ini tetap saja memunculkan polemik. Selain investasi yang dinilai terlalu mahal,  pembangunan Pltsa memicu masalah baru seperti lingkungan, ekonomi, dan sosial.

Seperti dikatakan Direktur Eksekutif WALHI Jateng, Fahmi Bastian, saat mengkritisi  PLTSa Putri Cempo. Menurutnya, penyusunan Adendum AMDAL RKL RPL Pengelolaan TPA Putri Cempo dan Rencana Pembangunan PLTSa 2018 yang dinilai melewati ambang batas parameter lingkungan dan baku mutu.

“PLTSa ini akan berdampak signifikan terhadap upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sehingga lebih baik membuat AMDAL yang baru bukan adendum,” ujarnya.

Dari sisi sosial, Ketua Paguyuban Pemulung PLTSa Putri Cempo, Parno turut menyuarakan keluhannya. Ia mengeluhkan polusi pembakaran sampah, padahal dalam sosialisasi sebelumnya disampaikan bahwa metode gasifikasi yang digunakan PLTSa Putri Cempo tidak mengakibatkan polusi.

Pada uji coba akhir Juni lalu, warga sekitar juga mengeluhkan kebisingan yang dihasilkan oleh mesin generator tanpa adanya peredam suara.

Keluhan senada disuarakan salah satu warga terdampak pembangunan PLTSa Putri Cempo yang mempertanyakan nasib para pemulung. Dalam sosialisasi sebelumnya, pemulung dijanjikan akan dibuatkan tempat tersendiri dan terjamin kesejahteraannya. Namun, dalam skema ini para pemulung masih belum mengetahui apakah semua pemulung masih bisa masuk ke area tersebut, mengingat tidak semua pemulung masuk ke database pemulung.

Bagi direktur  Program Yayasan Gita Pertiwi Titik Eka Sasanti,  PLTSa bukan solusi cerdas untuk mengatasi persoalan sampah.

Diakuinya, teknologi ini memang akan menghilangkan tumpukan sampah yang menggunung di TPA, di sisi lain menimbulkan persoalan baru di lingkungan, kesehatan, ekonomi dan sosial sebab sampah bukan menghilang namun berubah menjadi zat lain yang membahayakan.

Menurut dia, mengatasi sampah yang tepat adalah mengurangi sampah dari sumbernya, kemudian melakukan pengelolaan sampah dengan pilah, kelola dan manfaatkan merupakan solusi tepat.

“Harus dioptimalkan fungsi bank sampag, tidak hanya pilah sampah yang bernilai ekonomi, tetapi juga pilah sampah organik untuk digunakan meningkatkan produksi pangan perkotaan,” katanya.

Pemerintah tentu punya pandangan berbeda. Kehadiran Pltsa diyakini memberikan efek positif, terutama masyarakat daerah karena perbaikan kesehatan masyarakat, lingkungan dan perekonomian.

‘Kita harus bergerak bersama-sama dalam menyelesaikan proyek PLTSa. Jadi memang inisiatif-inisiatif ini yang dibutuhkan,” tegas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif suatu kesempatan. []

Penulis: Ahmadi Supriyanto

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?